Sesungguhnya laki-laki dan perempuan adalah dua jenis manusia yang ditakdirkan untuk bersatu. Entah dalam hal hubungan apa persatuannya, yang mutlak adalah laki-laki membutuhkan perempuan begitu juga dengan perempuan yang membutuhkan sosok kharismatik yang dimiliki laki-laki. Jika pada umumnya laki-laki dan perempuan dipersatukan dalam sebuah kebersamaa didalam ikatan suci yang dilandasi cinta, bagaimana jika cinta itu telah lama datang tapi waktu tak kunjung memberikan izinnya untuk mepersatukan dua jenis manusia. Apakah mereka harus menunggu untuk bersatu atau mungkin mereka memiliki takdir lain yang harus mereka jalani? Apakah cinta tidak terlalu kuat untuk merobohkan dinding waktu menuju sebuah takdir yang dianggap lebih baik? Ataukah takdir yang dianggap tidak baik merupakan suatu keegoisan karena hilangnya kepercayaaan terhadap cinta itu sendiri? Takdir, dialah akhir dari sebuah perjuangan. Setiap orang mempunyai cara masing-masing dalam memperjuangkan kebahagiaannya. Tapi, semua kembali pada waktu, yakng menjadi klimaks kisah berlafaskan cinta.
BAGIAN 1
10 tahun yang lalu….
Koridor sekolah tua yang berarsitektur belanda itu tampak lengang. Hanya sesekali saja satu atau dua murid keluar kelas untuk sekedar mencuci muka atau ke toilet. Sementara langit tampak tak terlalu bersahabat, sekolah itu berpayung awan hitam dan kilatan petir yang saling menyahut satu sama lain seolah ingin menunjukkan keperkasaan dewa langit penopang mereka. Di sebuah sudut kelas, tampak seorang gadis muda menyandarkan kepalanya kedinding, matanya terpejam, ia sama sekali tak memperhatikan gurunya yang sibuk menerangkan proses terbentuknya janin pada manusia. Ia hanya fokus pada tidurnya, hingga tak menyadari guru yang ia acuhkan mendekat dan membawa gulungan koran.
“ JELASKAN BAGAIMANA PROSES TERBENTUKNYA JANIN PADA MANUSIA!!!” Guru biologi yang bernama Pak Raze itu memukul meja si gadis dengan gulungan korannya yang tentu saja menyadarkan gadis muda itu dari tidur pulasnya.
“ ahhhh, janin… janin… terbentuk karena pernikahan, Pak.” Jawab gadis itu terbata. Seisi kelas menertawakannya. Ia bertambah bingung. Sementara Pak Raze sudah siap dengan gulungan koran ditangan yang berarti siap memukul kepala gadis itu dengan senjata andalannya.
“ Plakkk” Pak Raze benar2 memukul kepala gadis itu dengan gulungan korannya. Si Gadis tampak malu, namun tak bisa berkutik. Ia hanya menggaruk kepalanya sambil menahan sakit. Pak Raze tidak berhenti disitu saja, ia memerintahkan si gadis untuk berdiri diluar kelas sampai pelajaran usai. Gadis muda itu hanya bisa pasrah, iya melangkah lunglai diiringi sorakan teman-temannya.
Gadis muda itu bernama Haira, Usianya baru 16 tahun. Ia siswa kelas 2 semester akhir di sekolah itu. Ia bukanlah gadis yang peduli dengan penampilan, bisa dilihat dari gayanya yang urakan dan rambut yang acak-acakan. Dia bukanlah tipikal gadis kebanyakan yang suka berdandan disela pelajaran atau mungkin bergosip dengan sesame perempuan. Dia gadis yang lebih suka membicarakan pertandingan bola dengan laki-laki dikelasnya, atau sekadar bercanda gurau bersama mereka. Haira juga tidak terlalu tomboy yang mengarah kepada kelainan seksual. Dia gadis normal pada umumnya yang memiliki pacar, bahkan ia menjalin cinta dengan pacarnya itu sejak dibangku sekolah menengah pertama tingkat 2. Namun, saying ia harus menjalin hubungan jarak jauh dengan pacarnya yang berlainan sekolah.