Senin, 30 Juni 2014

Abahku dan Kapal Layarnya

“Kenapa kapal layar, Bah?” tanyaku pada Abah yang sibuk mengelap pajangan tiga dimensi yang dibelinya dari pasar loak kemarin sore.

 “Filosofinya, Nak.” Jawab Abah sambil terus mengelap bagian berdebu pajangan dinding berukuran selebar tv 32 inch itu.
“Filosofi?” Aku bingung. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang dikatakan abahku barusan sehingga ia lebih memilih membeli pajangan bergambar kapal layar dibanding gambar lainnya.
“Kau lihat laut ini, Nak...” katanya menunjuk laut biru tempat kapal itu berlayar. “Saat kau berada diatas kapal ini, hanya lautlah yang menjadi batas mimpimu. Dan kau tahu? Kata kakekmu, saat engkau berada di kapal, takkan pernah engkau melihat laut yang berbatas sampai kapal itu menepi.” Abah kemudian bersiap memasang pajangan itu di dinding dekat pintu masuk rumah kami.
“Kakekmu pernah mengajak Abah naik kapal layar saat Abah masih kecil...” Abah mulai bercerita. “Kakek membawa Abah ketempat-tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Sungguh pengalaman yang tidak bisa Abah lupakan. Seandainya saja Abah masih bisa mengunjungi tempat-tempat baru, negeri-negeri indah yang sering kita lihat bersama di televisi. Seandainya, Nak.” Abah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.
Aku tersenyum pilu kearah Abah. Abah sering bercerita tentang petualangannya saat ia muda, menjadi porter demi bisa membeli peralatan naik gunung, menjadi nelayan dadakan demi bisa membelah birunya laut, Ia semua lakukan karena jiwa petualang yang selalu memanggilnya walau ia tak ada uang. Dan jiwa petualang itu turun kepadaku, betapa aku mengidolakan Mt.Everest dengan keagungan puncak Himalaya nya, betapa aku ingin merasakan suasana kolonial kental dan bersahabat seperti di Penang, betapa aku ingin membakar kulitku hingga gosong dibawah teriknya matahari Bali...


Tapi jika melihat wajah Abahku... aku ingat kondisi keuangan kami. Menjelajahi mimpiku pastinya butuh biaya yang tidak sedikit. Menabung pun masih terasa berat jika melihat harga tiket pesawat dan akomodasi yang harus aku bayar demi menebus mimpi-mimpi itu. Aku teringat lagi dengan filosofi kapal layar Abahku...
“Jika kita berada di atas kapal layar, laut pun tak menjadi batas mimpi selama kapal kita belum menepi..”
Ya, abahku benar tentang kapal layarnya. Mungkin saat ini aku hanya belum berani menginjakkan kakiku di kapal layarku. Walau begitu, Abah dengan sabarnya selalu mendengarkan ceritaku tentang mimpi tentang petualanganku. Bahkan tak jarang ia menawarkan sebagian gajinya untuk kupakai berpetualang. Pernah suatu kali aku secara iseng aku mengunjungi toko buku di kotaku dan menemukan buku petualang bersampul biru muda dengan judul cover merah terang. Aku segera menelpon abahku dan meminta izinnya untuk membeli buku ini. Pada waktu itu aku tidak punya uang. Abahku yang tahu benar keinginan berpetualangku segera mentransfer uang ke rekeningku untuk membeli buku bersampul biru muda itu. Kalau mengingat masa itu aku jadi merasa berdosa mengapa buku biru muda itu tidak kubeli sendiri, mengapa harus mengorbankan uang Abahku.
Setelah buku biru muda itu kubaca dengan seksama, makin kuat hasratku berpetualang. Aku makin gencar mencari cara termurah untuk mewujudkan mimpi ku menjelajah dunia baru. Sampai akhirnya Tuhan mulai menunjukkan KuasaNya padaku. Tak sengaja aku dan Abahku melihat iklan sebuah maskapai penerbangan yang tak pernah kami dengar sebelumnya, AIRASIA.
Maskapai ini dengan beraninya memberikan free seat alias kursi gratis ke negara-negara yang masuk dalam bucket list ku. Terang saja aku dan Abah segera membuka website maskapai tersebut dan benarlah kami menemukan free seat  yang dimaksud. Aku peluk Abahku erat. Momen dimana kami menemukan harga tiket tak lebih mahal dari harga daging sapi sekilo merupakan salah satu momen terbaik di hidup kami berdua.  Kemudian tanpa pikir panjang aku beranikan diri menuju travel agent di kotaku guna membooking tiket ke negara terdekat yang paling mungkin aku kunjungi saat itu, Malaysia dan Thailand, karena kami tidak punya kartu kredit dan lebih parahnya lagi kami belum mengerti cara membeli tiket via online.
Sampai menjelang keberangkatanku, lagi-lagi Abah mengorbankan tabungannya untukku...
“Simpan ini, Nak...” katanya menyerahkan amplop cokelat berisi uang dua juta padaku.
“Tapi, Bah..” Aku terharu. Lagi-lagi aku merepotkannya. Tapi aku menyadari tabunganku saat itu hanya cukup membeli tiket saja.
“Rasakanlah aroma dunia luar, Nikmati keramahan dan kekejamannya, Nak...”Abah membelai rambutku. “Berpetualanglah..., Hanya ini yang bisa Abah berikan padamu...”Katanya.
Aku memeluk Abahku. Lelaki paruh baya yang hari-harinya banyak dihabiskan bercerita tentang mimpinya padaku kini terlihat tak sabar mendengar ceritaku tentang mimpiku yang perlahan mulai terwujud.
Abah juga dengan kerelaan hatinya membuat kartu kredit yang sangat ia caci maki dulunya demi memudahkanku memesan tiket di Airasia. Malaysia, Singapura, Thailand, Filiphina, akhirnya bisa aku jelajahi karena dorongan kuat Abah agar aku terus berpetualang. Perlahan aku tak pernah lagi menerima uang darinya untuk menyokong petualanganku, walaupun terkadang diam-diam ia masih mengirimkan uangnya ke rekeningku. Abahku pun jadi orang nomer satu yang selalu menghubungiku saat aku berada jauh dari rumah. Beliau pun belajar menggunakan skype agar bisa bertatap muka langsung dan mendengarkan ceritaku tentang daerah yang aku kunjungi, tentang orang-orangnya, tentang kulinernya, bahkan terkadang beliau menanyakan dimana aku tidur, apakah kasur yang aku pakai membuat aku tertidur nyenyak... Banyak hal yang beliaiu selalu tanyakan tiap harinya saat aku berpetualang ke tempat baru.
Abahku, yang masih selalu sibuk dengan barang-barang rongsokan yang ia beli dari pasar loak lalu ia poles kembali, merupakan alasan terbesarku untuk selalu berpetualang. Raut wajahnya yang berbinar saat aku ceritakan semua keluh kesahku padanya saat menapaki daerah baru, menjadi penyemangat khusus saat aku jauh darinya.
Semenjak hari kami melihat iklan itu bersama, aku tahu ada perubahan besar pada hidup kami. Abah semakin gencar memotivasiku berpetualang ke tempat-tempat baru, memaknai hidup dengan bersyukur atas alam ciptaanNya. Dan aku, semakin gencar mewujudkan mimpi-mimpi baruku dan dengan bahagianya kubagi mimpi itu pada Abahku hingga ia bisa mendengarkan pengalaman berpetualangku dengan penuh rasa bangga.
Abahku, dengan filosofi kapal layarnya, adalah alasan terbesarku menulis tulisan ini. Aku ingin terbang bersama beliau dengan maskapai favorit kami berdua, ingin membagi mimpiku bersama beliau tidak hanya lewat kata-kata dan ceritaku saja. Membelah awan berdua sebelum usianya semakin senja.


Aku percaya abahku masih diatas kapal layarnya, belum menemukan batas mimpinya.



0 comments:

Posting Komentar

 

kasur busuk Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review