“Kenapa kapal layar, Bah?”
tanyaku pada Abah yang sibuk mengelap pajangan tiga dimensi yang dibelinya dari
pasar loak kemarin sore.
“Filosofi?” Aku bingung. Jujur saja aku tidak mengerti apa yang dikatakan abahku barusan sehingga ia lebih memilih membeli pajangan bergambar kapal layar dibanding gambar lainnya.
“Kau lihat laut ini, Nak...” katanya menunjuk laut biru tempat kapal itu berlayar. “Saat kau berada diatas kapal ini, hanya lautlah yang menjadi batas mimpimu. Dan kau tahu? Kata kakekmu, saat engkau berada di kapal, takkan pernah engkau melihat laut yang berbatas sampai kapal itu menepi.” Abah kemudian bersiap memasang pajangan itu di dinding dekat pintu masuk rumah kami.
“Kakekmu pernah mengajak Abah naik kapal layar saat Abah masih kecil...” Abah mulai bercerita. “Kakek membawa Abah ketempat-tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Sungguh pengalaman yang tidak bisa Abah lupakan. Seandainya saja Abah masih bisa mengunjungi tempat-tempat baru, negeri-negeri indah yang sering kita lihat bersama di televisi. Seandainya, Nak.” Abah tersenyum sambil mengacak-acak rambutku.
Aku tersenyum pilu kearah Abah. Abah sering bercerita tentang petualangannya saat ia muda, menjadi porter demi bisa membeli peralatan naik gunung, menjadi nelayan dadakan demi bisa membelah birunya laut, Ia semua lakukan karena jiwa petualang yang selalu memanggilnya walau ia tak ada uang. Dan jiwa petualang itu turun kepadaku, betapa aku mengidolakan Mt.Everest dengan keagungan puncak Himalaya nya, betapa aku ingin merasakan suasana kolonial kental dan bersahabat seperti di Penang, betapa aku ingin membakar kulitku hingga gosong dibawah teriknya matahari Bali...